Muhammad Nur Al Majid, mahasiswa Teknik Elektro Telkom University Purwokerto, menciptakan sebuah inovasi berupa alat penerjemah bahasa isyarat berbasis machine learning. Dengan bimbingan Mas Aly Afandi, S.ST., M.T. dan Sevia Indah Purnama, S.ST., M.T., ia merancang penelitian ini selama enam bulan guna menciptakan sistem AI yang bekerja secara akurat dan real-time.
Karya ini lahir dari kepeduliannya terhadap penyandang gangguan pendengaran dan berbicara yang kerap mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat luas. Majid menyadari bahwa masih banyak orang yang belum memahami bahasa isyarat, sehingga ia terdorong untuk mengembangkan sistem kecerdasan buatan yang mampu mengenali dan menerjemahkan gerakan tangan menjadi bahasa yang lebih universal.
Sistem ini menggunakan sensor EMG (Electromyography) dan MPU6050 untuk mendeteksi aktivitas otot serta pergerakan tangan pengguna saat berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Data yang dikumpulkan kemudian diproses melalui Artificial Neural Network (ANN) agar dapat diterjemahkan dengan akurasi tinggi.
Salah satu manfaat utama dari inovasi ini adalah membuka akses komunikasi yang lebih luas bagi penyandang disabilitas. Dengan alat ini, mereka dapat berinteraksi dengan orang-orang yang tidak menguasai bahasa isyarat tanpa harus bergantung pada penerjemah. Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi penting dalam pengembangan teknologi AI, khususnya dalam bidang pengenalan bahasa isyarat berbasis sensor.
Tantangan utama yang dihadapi adalah noise pada sinyal EMG yang dapat mengganggu akurasi sistem, serta perbedaan gerakan tangan setiap individu yang membuat model AI harus lebih adaptif. Meski demikian, dengan ketekunan dan analisis yang cermat, ia berhasil mengatasi berbagai kendala tersebut.
Proses penelitian ini mencakup berbagai tahap, mulai dari studi literatur, pemilihan sensor, hingga pengembangan sistem berbasis ANN. Setelah model dikembangkan, Majid melakukan serangkaian uji akurasi dan validasi guna memastikan kinerja alat sebelum siap diimplementasikan lebih lanjut.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa sistem ini mampu mengenali bahasa isyarat dengan tingkat akurasi mencapai 98%. Meski begitu, pengujian terhadap pengguna dalam skala lebih luas belum dapat dilakukan karena keterbatasan waktu dan faktor perbedaan sinyal otot pada setiap individu.
“Inovasi ini masih bisa dikembangkan lebih jauh, baik dari sisi sensor, algoritma AI, maupun jumlah kata yang dapat diterjemahkan. Saya berharap penelitian ini bisa menjadi pijakan awal bagi riset-riset berikutnya yang berfokus pada aksesibilitas bagi penyandang disabilitas,” ujar Majid.
Perkembangan AI dan teknologi sensor yang semakin pesat membuka peluang besar bagi inovasi ini untuk terus disempurnakan. Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan industri, bukan tidak mungkin alat ini suatu hari nanti dapat digunakan secara luas dan membantu lebih banyak penyandang disabilitas dalam berkomunikasi
Penulis : Vania | Editor : Nabilah